Rabu, 01 Juni 2011

Belajar Jadi "GURU": Guru Kognitif

Belajar Jadi "GURU": Guru Kognitif




Rhenald Kasali membedakan guru menjadi dua jenis; guru kognitif dan guru kreatif. Aku dan sebagian besar manusia di negeri ini ternyata adalah hasil didikan guru-guru kognotif. Seperti apa itu guru kognotif?

Rhenald Kasali menjelaskan. Guru kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala rupa rumus, banyak bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan.

Guru kognitif lebih banyak mengajar dengan mulutnya. Dia berbicara panjang lebar di depan peserta didik menggunakan alat tulis. Mereka jarang atau bahkan tak pernah menggunakan alat peraga. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang dia ajarkan (Aku banget gitu loh, wakakak…. Terima kasih buat teman-teman yang suka mengingatkanku untuk potong rambut dan mengencangkan ikat pinggang, biar baju gak masuk di depan keluar di belakang). Rupanya, waktu sekolah dulu, terutama di tingkat sekolah atas, aku juga menjadi kebanggaan guru-guru  kognotif. Bagaimana tidak? Sering juara kelas, rajin, disiplin dalam belajar, patuh, penurut dan tidak pernah neko-neko. Aih….

Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory. Asumsinya, semakin banyak yang diketahui seseorang, semakin pintarlah orang itu. Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik.

Guru kognitif adalah guru-guru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, sangat patuh pada ”tupoksi” dalam istilah PNS. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan bab-bab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas, mereka akan mengejarnya persis seperti itu sampai tuntas.
Nah, apakah engkau termasuk guru jenis ini?
SELAMAT kalau demikian!

Sayangnya, dunia saat ini yang sangat dinamis, tak hanya membutuhkan orang-orang yang cerdas secara kognitif. Juara kelas waktu di sekolah, jadi lulusan terbaik di perguruan tinggi tertentu, tak memberi jaminan kehidupan yang baik setelahnya. Tentu saja, ukuran-ukuran untuk menilai prestasi di sekolah dan di kampus kebanyakan juga ukuran kognitif. Siapa pintar hitung-hitungan, pintar mengerjakan rumus, siapa mudah menghapal teori, dialah yang akan berprestasi.

Padahal rumus-rumus dan hapalan-hapalan yang diperoleh di sekolah seringkali tak berguna untuk memecahkan problema-problema kehidupan. Sepintar apapun seseorang mengerjakan hitungan akuntansi misalnya, takkan membuatnya mampu membangkitkan kembali usaha yang telah bangkrut. Perlu banyak ilmu lain dalam hal ini. Akuntansi saja sama sekali tak membantu.

Untuk bisa survive dan sukses, hari ini kita butuh life skills, tak sekedar soft skills, apa lagi hard skills. Kita memerlukan lebih banyak ketrampilan hidup menghadapi dunia yang terus berubah, persaingan yang semakin ketat dan tantangan-tantangan yang semakin beragam.

Nah, untuk melahirkan generasi yang sukses dalam kehidupan, dibutuhkan tak sekedar guru kognitif. Saat ini, dunia membutuhkan lebih banyak guru kreatif. Seperti apakah guru kreatif itu? Lain waktu kita perbincangkan..
Yang pasti, kalau saat ini kita merasa masih menjadi guru kognitif, sama seperti guru-guru kita jaman dulu, berarti harus bersiap untuk beranjak, bersiap untuk berubah. Bila tidak, kita akan menjadi guru-guru yang sesungguhnya tak lagi dibutuhkan oleh dunia. Kita menjadi guru-guru yang mubadzir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar